Ada seorang teman menulis status sbb:
“Jama’ah Tabligh, ahlussunnah wal jama’ah kan?”
Kalau saya boleh bertanya, saya akan bertanya balik kepada beliau:
“Jamaah Haji, ahlussunnah wal jama’ah kan?”
“Jamaah Sholat, ahlussunnah wal jama’ah kan?”
“Jamaah Sholat, ahlussunnah wal jama’ah kan?”
Dengan pertanyaan saya itu saya berharap seketika beliau menyadari bahwa Jamaah Tabligh bukan seperti yang beliau sangkakan. Ya. Jamaah Tabligh adalah AKTIFITAS semata.
Saya ulangi: Perlu difahami dan DIGARIS-BAWAHI sekali lagi, Jamaah Tabligh hanyalah sebuah aktivitas. Bukan ormas, orpol, LSM, Firqah, apalagi Harokah. Dan sebagaimana lazimnya sebuah aktivitas, ada awalnya dan ada akhirnya. Sebagaimana Sholat, diawali dengan takbiratul ula diakhiri dengan salam. Sebagaimana Haji, diawali dengan Ihram diakhiri dengan Thowaf Wada’.
Lalu apa jawaban pertanyaan di atas?
Sederhana: Jawabannya adalah ‘tergantung orangnya.’
Sederhana: Jawabannya adalah ‘tergantung orangnya.’
Lalu siapa saja anggota Jamaah Tabligh? Ya setiap orang (Islam tentunya) yang ikut serta dalam aktivitas bertabligh mereka semua adalah anggota Jamaah Tabligh. Dan begitu aktivitas bertabligh itu selesai, orang-orang itu bukan lagi anggota Jamaah Tabligh. Tetapi ya orang Islam biasa sebagaimana Muslim lainnya yang dimuliakan Allah bila mereka bertaqwa.
Mengapa Jamaah Tabligh melarang anggotanya berpolitik praktis? Ya jelas dong. Coba jawab, mengapa Jamaah Haji dilarang berpolitik praktis? Kaidah utama selama Haji adalah “Walaa rofatsa, walaa fusuqo, walaa jidaala fil Hajj”. Ngomong sia-sia saja dilarang dalam Haji, apalagi maksiat. Sehingga niat Haji harus LILLAAH, karena Allah semata. “Wa atimmul Hajja wal ‘Umrota lillaah”. Bukan karena tendensi politik atau dikemas sebagai sebuah agenda politik!
Selama seorang berada dalam Jamaah Tabligh, ia ibarat sales door to door yang menawarkan amal agama kepada semua Ummat Islam di mana-pun. Jadi perbedaan yang tidak perlu muncul, ya tidak perlu dimunculkan. Termasuk biang perbedaan yang disebut politik praktis. Karena sekali perbedaan dimunculkan, hati ummat akan terpecah-belah sehingga misi utama (yaitu nyales tadi) akan melewati tanjakan yang jauh lebih sulit.
Adapun begitu usai aktivitas bertabligh itu, mereka bisa kembali ke habitat masing-masing, sehingga yang backgroundnya memang seorang politisi ya silahkan berpolitik praktis, lha wong memang itu kerjaannya!
Mengapa Jamaah Tabligh meninggalkan pekerjaan? Jawabannya sama persis dengan jawaban pertanyaan, ‘Mengapa Jamaah Haji meninggalkan pekerjaan?’ atau ‘Mengapa Jamaah Sholat meninggalkan pekerjaan?’ Justru sangat aneh dong kalau waktu sholat atau Haji pekerjaan tidak ditinggalkan. Jadi apa sholat dan Hajinya. Sholat apa itu namanya? Haji apa itu namanya?
Adapun meninggalkan istri dan anak, jawabannya adalah tidak selalu. Ada kalanya istri (dan anak juga bila sudah baligh) diajak dan ada kalanya tidak. Tergantung Musyawarah. Tergantung kepentingannya. Untuk mendakwahi wanita-wanita, misalnya, yang bergerak ya para wanita yang dikawal oleh mahramnya.
Dalam kasus meninggalkan keluarga, mengapa tidak meninggalkan nafkah selama ditinggal sehingga banyak keluarga terlantar? Kalau menurut Juklak, sebelum berangkat (khuruj) semua perbekalan harus disiapkan. Baik yang ditinggalkan untuk keluarganya ataupun yang dibawa. Sehingga baik yang berangkat maupun yang ditinggal akan tetap terpenuhi kebutuhannya.
Begitu pula yang pegawai harus minta izin cuti kepada perusahaan tempatnya bekerja. Tanpa kelengkapan ini, rencana khuruj akan ditolak oleh masyaikh. Tetapi tidak saya sangkal, dalam praktek memang banyak pelanggaran. Misalnya membuat surat cuti palsu dan sebagainya. Hal seperti ini tentunya akan berakibat tidak baik dan mendatangkan fitnah.
Btw, Insya Allah masih jauh lebih banyak yang tertib mengikuti aturan daripada yang melanggar. Sayangnya yang ditonjolkan oleh kritikus adalah mereka yang melanggar sehingga seolah seluruh korps melanggar semua.
Ada lagi pertanyaan: Pada zaman Nabi dulu, Para Sahabat khuruj hanya untuk keperluan Jihad Qital, bukan Dakwah. Benarkah demikian? Ada banyak bukti lho yang menerangkan bahwa Para Sahabat khuruj hanya untuk kepentingan Dakwah, bukan Qital (Perang). Tapi lagi-lagi referensinya akan dipermasalahkan. Bagi orang tertentu (Wahabi) kalau bukan dari kelompoknya semuanya tidak sah.
Mengapa 3 hari, 40 hari dsb. Target sebenarnya adalah mempergunakan seluruh masa dan seluruh harta untuk Agama. Tetapi untuk mencapai tahapan ini tentu perlu persiapan. Jadi masa-masa itu adalah tarbiyah. Seperti madrasah menentukan belajar subyek A sekian bulan, belajar subyek B sekian tahun. Sah-sah saja kan?
Penetapan waktu seperti itu yang jelas akan memudahkan pegawai untuk mendapat izin cutinya. Misalnya izin cuti 3 hari atau sebulan. Tentu lebih mudah dari pada izin cuti untuk waktu yang tidak ditentukan.
Dan lagi masa-masa itu tidaklah mengikat. Kalau keberatan dengan 3 hari, ya silahkan saja kalau mau 2 hari, 4 hari atau berapapun kemampuan waktunya. Sama sekali tidak mengikat. Jadi tidak ada hukum halal-haram atau Sah-Tidak Sah dalam hal ini.
Kalau sudah ikut Jamaah Tabligh kemudian ingin keluar, boleh atau tidak? Ya boleh-boleh saja. Wong ketika gabung dulu tidak ada ikatan bay’at, pendaftaran, ataupun bayar uang administrasi apapun kok. Program khuruj dilaksanakan di masjid. Masjidnya tidak dikunci. Silahkan saja kalau mau pulang. Paling-paling ketua rombongan cuma memberi nasehat. Apa-apa yang perlu dikerjakan selama di rumah nantinya.
Mengapa tidak mendakwahi kampung sendiri yang masih banyak maksiat? Mengapa harus jauh-jauh keluar? Sebenarnya program khuruj bertujuan untuk menghidupkan amalan di rumah dan di kampung sendiri. Karena benar, ini adalah yang lebih utama. Seorang muslim perlu berDakwah di kalangan para tetangga, kalangan jamaah masjid sendiri, masjid tetangga kampung, keluarga sendiri, saudara, mertua, menantu ataupun anak dan cucu. Ini yang lebih utama.
Tetapi hal ini ternyata sangat sulit. Memiliki kemampuan (isti’dad) untuk berdakwah tanpa lelah dan jemu apalagi bila mengalami penentangan adalah sesuatu yang berat. Untuk itulah perlu belajar. Dan belajarnya adalah dengan khuruj. Berdasarkan pengalaman, setelah belajar training di luar biasanya lebih mudah untuk praktek di lingkungan sendiri.
Wallahu a’lam.