AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA

AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA
BAGAN BATU

Selasa, 27 Desember 2011

***

SEBAB-SEBAB PENYAKIT HATI

KHUTBAH JUM’AT PERTAMA

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ فِي كُلِّ زَمَانٍ فَتْرَةً مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الْأَذَى، يُـحْيَونَ بِكِتَابِ اللهِ الـمَوْتَى وَيُبَصِّرُونَ بِنُورِ اللهِ أَهْلَ الْعَمَى، فَكَمْ مِنْ قَتِيْلٍ لِإِبْلِيْسَ قَدْ أَحْيَوْهُ وَكَمْ مِنْ ضَالٍّ تَائِهٍ قَدْ هَدَوْهُ فَمَا أَحْسَنَ أَثَرِهُم عَلَى النَّاسِ وَأَقْبَحَ أَثَرِ النَّاسِ عَلَيْهِمْ. يُنْفَوْنَ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَـحْرِيفَ الغَالِّينَ وَانْتِحَالَ الـمُبْطِلِينَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِينَ الَّذِيْنَ عَقَدُوا أُلُوِيَّةَ البِدْعَةِ وَأَطْلَقُوا عِقَالَ الفِتْنَةِ فَهُمْ مَخْتَلِفُونَ فِي الكِتَابِ مُخَالِفُونَ لِلْكِتَابِ مُجْمِعُونَ عَلَى مُفَارَقَةِ الكِتَابِ يَقُولُونَ عَلَى اللهِ وَفِي اللهِ وَفِي كِتَابِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَتَكَلَّمُونَ بِالـمُتَشَابِهِ مِنَ الكَلَامِ وَيُـخْدِعُونَ جُهَّالَ النَّاسِ بِمَا يُشْبِهُونَ عَلَيْهِمْ فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ فِتَنِ الْمُضِلِّينَ، أَمَّا بَعْدُ


          Ma’asyir
al muslimin rahimakumullah.
Marilah kita mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kita terutama nikmat memeluk agama Islam dan nikmat berada di atas jalan kebenaran, jalannya para salafus shalih, generasi pertama Islam. Dan kita berharap dengan syukur kita ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah nikmat-Nya dan memang demikianlah janji-Nya kepada kaum muslimin, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyalahi janjinya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)


Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Telah kita ketahui bersama, bahwa setiap anggota badan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk suatu tugas khusus, seperti mata diciptakan untuk meluhat, telinga untuk mendengar, dan begitulah seterusnya. Adapun tanda sakit anggota badan adalah apabila dia itu tidak bisa melaksanakan tugas tersebut dengan baik.


Sebagai contoh mudah, mata yang tidak bisa digunakan untuk melihat dengan jelas maka dia adalah mata yang sakit, telinga yang tidak bisa digunakan untuk mendengar dengan baik, maka dia adalah telinga yang sakit.

Demikian pula hati atau hati, hati yang sakit terlihat dari ketidakmampuannya melaksanakan tugas khusus yang karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya yaitu mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencinta-Nya serta untuk beribadah kepada-Nya semata. Maka barangsiapa yang lebih mencintai dan lebih mementingkan sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti hatinya sakit.

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh sudah menjadi fitrah manusia apabila ia ditimpa suatu penyakit dia akan berusaha mencari obatnya, benarlah kata pepatah “mencegah lebih baik dari mengobati.” Dan untuk mencegah suatu penyakit maka kita harus mengetahui penyebab-penyebabnya.
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah.

Ada suatu penyakit yang lebih berbahaya dari semua penyakit jasmani yang paling berbahaya. Sungguh suatu kerugian bila seseorang ditimpa suatu penyakit tapi ia sendiri tidak menyadarinya. Penyakit ini mudah sekali menular dan mudah tertanam ini mudah sekali menular dan mudah tertanam dalam tubuh, dan tidak menutup kemungkinan kita mengidap penyakit yang sangat berbahaya itu. Penyakit itu adalah penyakit hati.

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita mempelajari penyebab-penyebab penyakit hati dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar terhindar dari penyakit-penyakit Allah Subhanahu wa Ta’ala agar terhindar dari penyakit-penyakit tersebut dan bisa berusaha mengobatinya bila kita telah terlanjur terjangkit penyakit tersebut.
Ada enam penyakit hati yang akan kami sebutkan pada kesempatan yang berbahagia ini, yang kesemuanya adalah penyakit-penyakit yang sangat berbahaya yang sering menjangkit umat. Di antara penyakit-penyakit tersebut adalah:

Sebab penyakit hati pertama, berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syirik adalah jika seorang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ibadah kepada-Nya. Di samping dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dia juga beribadah kepada selain Allah. Perbuatan syirik adalah perbuatan yang sangat tercela dan terlaknat.
Orang yang terkena penyakit ini ia akan menjalani hidupnya di dunia ini dengan iman dan aqidah yang cacat, hatinya akan selalu sakit, semua yang dilakukannya hanya berkisar nafsu belaka, dia tidak akan mengenal agama Islam ini dengan baik, sebaliknya dia akan mendapatkan kesedihan, perasaan takut, dan kehancuran, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang yang berbuat syirik kedudukannya lebih rendah dari binatang-binatang ternak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلاَّ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Disebutkan di dalam Alquran, orang yang berbuat syirik seperti seorang yang jatuh dari langit, kemudian disambar oleh burung-burung, dan dicabik-cabiknya, atau dilemparkan oleh angin ke tempat yang jauh dan hina.” Nas’alullaha al-afiyah.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Sebab penyakit hati kedua, perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apabila kemaksiatan sudah bertumpuk dalam hati seseorang, maka dia akan menghalangi pandangan hati sehingga dia tidak dapat melihat, menyadari, memahami serta berfikir tentang ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika maksiat telah berkumpul dalam hatinya, maka dia akan mencengkramnya sehingga hatinya tidak menyenangi kebaikan dan tidak mau berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu yang paling menyedihkan ia akan dikuasai oleh hawa nafsurnya yang jahat, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلُ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئَايَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijuurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf: 176)

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sebab penyakit hati ketiga adalah kelalaian dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Manusia yang lengah akan terkejut tatkala mendengar dzikir atau nasihat dari seseorang, meskipun dia seorang penuntut ilmu, apalagi orang awam Hal ini disebabkan kelalaian dari merenungi ayat-ayat-Nya sehingga setan masuk melalui peredaran darahnya menuju hatinya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengingatkan hal ini sebagaimana dalam firman-Nya,


وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَاوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِّنْ هَذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ


Dan telah dekat kedatangan janji yang benar (hari berbangkit). Maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (mereka berkata): “Aduhai, celakalah Kami, Sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 97)

          Orang yang lengah atau lalai diibaratkan seperti orang yang masuk ke dalam masjid lalu setan menekannya sehingga orang tersebut tidak berdzikir kepada Allah sedikit pun, seperti orang yang datang ke sebuah majelis ta’lim dia malah tertidur atau memikirkan hal-hal dunia, sehingga ia tidak memahami isi dari kajian tersebut.

         Kelengahan menyerang hati seseorang, sehingga membuatnya berpaling dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak senang berdzikir, tidak senang mendengar suatu kebaikan dan tidak mau mendekat kepada ahli dzikir yaitu para ulama.
Sidang Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sebab penyakit hati keempat adalah berpaling dari mempeajari ilmu agama, mendalami, dan mempelajari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

           Pada zaman sekarang ini, kita sering mendapati orang lebih faham ilmu dunia daripada ilmu agama, bahkan masalah-masalah yang ringan dalam agama mereka tidak mengetahuinya, tata-cara berwudhu atau mandi sesuai sunah atau yang lebih sederhana dari pada itu mereka tidak memahaminya, mereka lebih mendahulukan urusan dunia yang fana ini.
            
          Kemudian ada sebagian kaum muslimin yang berpaling dari membaca dan memahami Alquran dan al-Hadis, sehingga hati mereka terjangkit suatu penyakit berbahaya. Reaita membuktikan pada zaman sekarang ini, banyak para pemuda muslim yang buta akan huruf Alquran dan tidak bisa membacanya. Mereka enggan belajar ilmu agama Islam yang benar, yang digali dari Alquran dan sunah berdasarkan pemahaman para pendahulu mereka yang shaleh seperti para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih menyukai mempelajari buku-buku hasil karya musuh-musuh Islam, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى {124} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا {125} قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى {126}

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Robbku, mengapa Engkau menghimpunkan akud alam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Toha: 124-126)


بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH JUM’AT KEDUA

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَاِلنَا  مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sebab penyakit hati kelima, sibuk dengan urusan dunia dan mengabaikan agama.

          Apabila seorang telah terjangkit penyakit ini, maka waktu-waktunya, baik siang atau malam ia habiskan untuk mengejar dunianya, pikirannya terfokus agar tercapai semua keinginannya. Adapun akhirat mereka kesampingkan sehingga tidak heran kalau kita dapati di masjid-masjid kaum muslimin ketika khutbah Jumat mereka tertidur, tidak memperhatikan dan mendengarkan khutbah, padahal mendengarkan dua khutbah tersebut hukumnya wajib, yang demikian karena mereka telah kelelahan dengan urusannya. Kalaupun mata mereka tidak tertidur pikirannyalah yang terbang melayang bersama angan-angan dan lamunannya. Naudzubillah
          Kita khawatir inilah sifat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ia termasuk orang-orang yang lari dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Alquran Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

         “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

           Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang-orang yang lalai hati kita dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mudah-mudahan Allah menolong kita sehingga senantiasa kita dapat menghindari penyebab-penyebab sakit hati tersebut dan senantiasa diberikan petunjuk dan hidayah-Nya. Amin.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللَّهُمَّ اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Download Naskah Khutbah Jum’at

Jumat, 23 Desember 2011

Indahnya Nikah Mut'ah


PDF Cetak E-mail
Kita jarang sekali mendengar penjelasan mengenai fikih nikah mut’ah, sebagaimana nikah biasa memiliki ketentuan dalam hukum fikih, begitu juga nikah mut’ah juga memiliki ketentuan-ketentuan yang dijelaskan oleh imam yang diyakini maksum oleh syi’ah. Di sinilah letak "keindahan" nikah mut'ah.


Nikah Mut'ah  bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.
Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak. Al Kafi.  Jilid 5 hal. 451 .

Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan.  Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.

Begitulah wanita bagi imam maksum syi’ah adalah barang sewaan yang dapat disewa lalu dikembalikan lagi tanpa ada tanggungan apa pun. Tidak ada bedanya dengan mobil yang setelah disewa dapat dikembalikan. Duhai malangnya kaum wanita. Sudah saatnya pada jaman emansipasi ini wanita menolak untuk dijadikan sewaan, namun kita masih heran, mengapa masih ada mazhab yang menganggap wanita sebagai barang sewaan.

Syarat Utama Nikah Mut'ah

Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.

Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Sama seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita ingin menyewa.

Batas minimal mahar mut'ah

Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?

Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.

Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di McDonald, KFC  atau nasi uduk.

Tidak ada talak dalam mut'ah

dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.

Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458.

Jangka waktu minimal mut'ah.

Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460

Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi.

Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya". Al Kafi jilid 5 hal 460


Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.

Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.

Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460

Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.

Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.

Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452.

Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang menimpa pihak penyewa.

Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.


Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.

Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. Al Kafi  . Jilid. 5 Hal. 462

Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah.
Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3 hal 82

Tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar.

Nikah mut'ah dengan gadis

Dari Ziyad bin Abil Halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya. Al Kafi jilid 5 hal 462.
Yah, ini bukan nikah namanya.

Nikah mut'ah dengan pelacur

Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.

Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :

Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.Minhajushalihin. Jilid 3 hal. 8

Sebaiknya tidak, tapi jika terpaksa khan namanya tetap nikah walaupun dengan pelacur. Si pelacur akan berbahagia karena disamping mendapat uang dan kenikmatan dalam pekerjaannya, dia juga mendapat pahala.

Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah

Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya  : Ya, sebanyak jumlah rambut. Man La yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464

Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah. Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464

Hubungan warisan

Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 :  Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. Minhajushalihin.  Jilid 3 Hal. 80

Nafkah

Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.

Begitulah gambaran mengenai fikih nikah mut’ah. Pada seri berikutnya akan kita dapatkan gambaran jelas mengenai perbedaan antara nikah mut’ah dan pelacuran.

Majlisi, Potret Ulama Syiah Senior


PDF Cetak E-mail
Salah satu kitab rujukan utama syiah adalah Biharul Anwar, ditulis oleh ulama syiah kawakan bernama Al Majlisi, siapa dia? simak selengkapnya
Nama Majlisi tidak dapat dipisahkan dari daulah safawiyyah, begitu juga namanya melekat dengan kitab yang disusunnya, yaitu Biharul Anwar.  Beginilah kira-kira ringkasan pembahasan kita tentang ulama syiah paling terkenal pada masa daulah safawiyyah dan kitabnya yang terkenal,  Biharul Anwar fi ahaditsinnabiy wal aimmatil athar.

Dinasti Safawiy, berdiri di wilayah yang saat ini bernama Iran tahun 907 H/ 1502 M, secara resmi memeluk mazhab syiah imamiyah.  Dinasti ini mewajibkan penduduknya memeluk mazhab syiah dengan menggunakan kekuatan.  Juga pemerintahan safawi berusaha untuk menyebarkan mazhab syiah di wilayah pemerintahannya juga melebar ke wilayah kanan kirinya.  Demi kelancaran misinya ini, dinasti safawi mengucurkan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai gerakan penulisan kitab dan penterjemahan.  Bahkan sampai memanggil ulama syiah dari luar wilayah safawi khususnya dari wilayah gunung amil di lebanon, untuk mendukung penyebaran ajaran syiah serta menggencarkan gerakan penulisan kitab-kitab syiah.  Pada masa itu ulama syiah memiliki kedudukan istimewa.  Di antaranaya  adalah Majlisi.

Muhammad Baqir bin Muhammad Taqiy Al Majlisi lahir tahun 1037 H/ 1627 M di kota Isfahan, yang saat itu menjadi ibukota pemerintahan dinasti safawi.  Muhammad Baqir dikenal sebagai Majlisi kedua, sementara ayahnya dikenal sebagai Majlisi pertama, atau satu.

Syiah menganggap Majlisi sebagai salah satu ulama yang dihormati dan diagungkan.  Dia dianggap sebagai salah satu ulama yang menguasai dan menjaga mazhab syiah.  Bahkan dia dianggap sebagai penjaga dinasti safawi, yang setelah Majlisi wafat mengalami kehancuran.

Penulis kitab Marja'iyyah Diniyah wa Maraji'ul imamiyah menceritakan biografi Majlisi pada hal 58 : Majlisi adalah ulama yang didengar ucapannya oleh raja-raja dinasti safawi di asfahan, yang saat itu menjadi pusat emerintahan Iran.  Sebagai ulama yang dihormati, Majlisi menangani sendiri permohonan banding dan segala macam urusan peradilan, serta ikut mengawasi pelaksanaan hukum pidana Islam.  Muhaddits Nuri berkata dalam kitabnya Darussalam : tidak ada dalam Islam seorang yang menyebarkan mazhab sebagaimana Majlisi, yang menulis begitu banyak kitab yang tersebar di mana-mana… Majlisi memiliki peran yang besar dalam penyebaran mazhab syiah imamiyah, sampai sampai Abdul Aziz Dahlawi, salah seorang ulama ahlussunnah yang mengarang kitab "Tuhfah Itsna Asyriyyah fi Rod Ala Iamiyah" berkata : jika ajaran syiah ini disebut sebagai ajaran Majlisi, maka tidaklah keliru.

Tentang peran Majlisi dalam pemerintahan dinasti safawiyah, pengarang kitab Al Hijrah Al Amiliyah ila Iran pada halaman 195 menukil dari kitab sejarah Iran  yang menulis tentang Majlisi, sosok yang tidak duduk di singgasana, tapi dengan kecerdikannya dapat menguasai keadaan di tengah keadaan sulit yang menimpa iran saat itu.  Saat itu Afghanistan mengancam akan menginvasi iran, berusaha memanfaatkan lemahnya kepemimpinan shah husein I.  Majlisi dapat mempertahankan pemerintahan hingga setelah dia wafat, Afghanistan baru dapat menyerang iran.

Majlisi disebut Syaikh Dinasti Safawi, yang didengar seluruh pendapatnya oleh pemerintah.  Dia hidup mewah di masa akhir dinasti safawi.  Dia dikenal fanatik terhadap mazhab syiah dan berhasil membujuk pemerintah agar menindas seluruh rakyat yang tidak semazhab dengannya.

Namun Majlisi selalu menyanjung puja raja-raja dinasti safawi, sebuah perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh ulama sekelas Majlisi yang memiliki kedudukan tinggi saat itu.  Majlisi membuat pujian-pujian itu walaupun raja-raja safawi dikenal kejam dan berakhlak bejat.  Salah seorang raja berakhlak bejat yang dipuji oleh Majlisi adalah syah Husein, yang pada masa kepemimpinannya membolehkan rakyat meminum khomer dan menjadi mainan para wanita.  Hal ini disebutkan oleh pengarang kitab Hijrah Amiliyah.  Majlisi memuji syah husein dengan puji-pujian yang sangat berlebihan, seperti dituliskan sendiri oleh Majlisi dalam pengantar kitab Zadul Ma'ad :

Memandang bahwa risalah ini selesai ditulis pada masa kerajaan yang penuh keadilan, pada masa pemerintahan sultan yang membawa kebahagiaan, berkedudukan tinggi, penghulu para raja di jaman ini, pemimpin orang bijaksana di jaman ini. Hiasan pohon agama, cucu yang terpilih di antara keturunan Nabi, raja yang banyak berkhidmat, pemimpin yang malaikat malu kepadanya.  Wahai sultan yang kemarahannya dapat memisahkan perjanjian yang tak terpisahkan, wahai sultan yang tangannya bagaikan hujan yang menimpa perkebunan, pendiri pondasi agama, penyebar ajaran nenek moyang yang suci, raja yang kolam istananya melimpah karena sering disentuh oleh bibir sultan zaman ini,,, yaitu raja terbesar, tempat berlindung para kaisar, penyebar upacara-upacara syariat agung, Shah Sultan Husein Al Musawi Al Husaini Al Safawi.

Majlisi dikenal karena banyak menulis kitab syiah imamiyah. Di antaranya adalah kitab Zadul Ma'ad fi Fadho'il Ayyam Wallayali wa A'malissanah.  Kitab tulisannya yang lain adalah fi ahwalil Anbiya' min Adam ila Nabiyyina Sallalahu Alaihi wasallam, fi ahwalil khotimil Anbiya' sallallahu alaihi wasallam min wiladatihi ila wafatihi.  Fil fitan al haditsah ba'da wafati Arrasul Sallalahu Alaihi Wasallam, Fi Ahwali Amiril Mu'minin min wiladatihi wa fadha'ilihi wa mu'jizatihi wa wafatihi. Fi Ahwalizzahra' wal hasanain alaihissalam, fi ahwal assajjad, wal baqir wassodiq wal kazim alaihimussalam.  Haqqulyaqin, mir'atul uqul.

Tapi kitab hasil tulisannya yang terbesar adalah Biharul Anwar fi ahaditsinnabiy wal a'immatil athar. Kitab ini terdiri dari 25 jilid besar, setiap jilid tersusun dari beberapa jilid lagi, hingga seluruhnya berjumlah 111 jilid. Maka tak heran jika syiah menyebut kitab Biharul Anwar sebagai ensiklopedi syiah yang tak tertandingi. Kitab ini adalah salah satu sumbangan terpenting yang dipersembahkan oleh dinasti safawi pada khazanah dunia kitab syiah, juga merupakan sumber terbanyak bagi khazanah syiah.  Biharul Anwar termasuk kitab hadits terpenting bagi syiah.  Majlisi mengumpulkan banyak hadits dari nabi maupun para imam, yang kadang validitasnya tidak jelas. Kitab ini juga memuat kisah Nabi, Fatimah dan seluruh kedua belas imam, berita tentang mereka dan petuah-petuah yang dinisbahkan pada mereka. Majlisi menyusun semua ini tanpa sistematika yang jelas.

Dalam Biharul Anwar, Majlisi sedikit sekali menukil dari 4 refrensi induk syiah, karena 4 kitab itu banyak memuat masalah-masalah furu' sedangkan Biharul Anwar tidak memuat masalah furu'. Majlisi berniat untuk mengumpulkan semua hadits syiah tanpa memandang validitasnya, bahkan sampai memuat referensi yang tidak dikenal oleh syiah dan tidak diakui oleh mereka sendiri yaitu kitab al Fiqhi Ar ridhawiy.  Majlisi mengaku kitab itu baru diketemukan pada zaman Majlisi.

Pada pengantar kitab Zadul Ma'ad Majlisi menyebutkan sedikit mengenai Biharul Anwar: Terdapat banyak sekali doa dari Nabi saw yang ditulis di banyak kitab doa. saya sendiri yang menyebut diri saya sebagai pembawa berita para imam suci alaihimussalam telah menyusun banyak doa dari nabi dalam kitab Biharul Anwar.  Tapi orang banyak tidaklah mudah untuk membaca kitab ini dan mengamalkan seluruh isinya karena mereka disibukkan oleh urusan dunia…

Abdullah Al Jaza'iri menyebutkan bahwa ketika Majlisi berniat untuk memulai menyusun kitab Biharul Anwar, beliau berusaha mengumpulkan seluruh kitab-kitab syiah kuno, dia mendengar bahwa kitab madinatul ilmi yang disusun oleh Ash Shaduq ada di negeri yaman.  lalu dia menyampaikan hal itu pada raja.  Tanpa menunggu lagi raja mengutus seorang utusan kepada raja yaman dengan membawa banyak hadiah supaya dapat membawa kitab itu ke iran.

Sementara itu Syah Sulaiman Safawi mewakafkan sebagian tanah milik pribadinya supaya hasilnya digunakan untuk menyalin dan membagi kitab Biharul Anwar kepada para pelajar. saat percetakan mula-mula masuk ke iran pada masa qajari, Biharul Anwar termasuk kitab yang pertama kali diperbanyak dalam jumlah besar, dan diedarkan ke irak dan negara teluk.  Apalagi Biharul Anwar ditulis oleh Majlisi dalam bahasa arab, sedangkan kitab tulisannya yang lain ditulis dalam bahasa parsi.

Dalam Biharul Anwar Majlisi mengumpulkan banyak sekali kebatilan dan kebodohan yang dikatakan berasal dari nabi dan para imam ahlul bait. dalam kitab ini tarcantum akidah syiah rafidhah.  Dalam kitab Biharul Anwar tercantum dengan jelas pendapat bahwa Al Quran telah mengalami perubahan, penuhanan para imam, pengkafiran para sahabat.  kami akan coba menukilkan sedikit dari banyak kebatilan dan riwayat palsu dalam kitab Biharul Anwar :
Setelah menukil beberapa pendapat Asshaduq dan beberapa riwayat yang memvonis mereka yang tidak beriman pada wilayah dua belas imam sebagai kafir, Majlisi berkata: ketahuilah bahwa vonis syirik dan kafir bagi mereka yang tidak meyakini bahwa Ali dan para imam dari anak cucunya, dan tidak meyakini keutamaan para imam, menunjukkan bahwa mereka kekal dalam neraka. Biharul Anwar jilid 23 hal.  390
Majlisi menuliskan sebuah riwayat dari Imam Muhammad Al Baqir, bahwa dia berkata : demi Allah hai Abu Hamzah seluruh manusia adalah anak zina selain syiah kami. Biharul Anwar jilid 24 hal.  311

Mengenai masalah penuhanan para imam dan anggapan bahwa para imam memiliki sifat seperti tuhan, banyak sekali hal itu dalam kitab Biharul Anwar.  Akan kita nukilkan di sini judul-judul dari bab yang membahas hal itu:

Bab bahwa Allah membuatkan bagi para imam sebuah tiang yang membuat para imam dapat melihat amal perbuatan manusia.

Bab sesungguhnya para imam memiliki seluruh pengetahuan malaikat dan para nabi

Bab para imam mengetahui waktu kematian mereka dan mereka tidak akan mati kecuali atas kehendak mereka sendiri.

Bab para imam dapat menghidupkan orang mati dan menyembuhkan lepra dan kusta, mereka memiliki seluruh mu'jizat para nabi.
Yang lebih mengherankan Majlisi menganggap bahwa seluruh isi Al Quran adalah para imam:
Sholat, zakat, haji, puasa dan seluruh ketaatan adalah para imam, sementara seluruh kemakasiatan adalah musuh mereka.

Tujuh matsani dan kalimat Allah adalah para imam.  Ahlul A'raf adalah para imam.

Maka DR.  Nasir Al Qifari mengatakan dalam kitabnya Ushul Mazhab Syiah hal 199 : dalam kitab Biharul Anwar yang menjadi pegangan bagi kalangan syiah tertulis anggapan bahwa hampir seluruh isi Al Quran adalah para imam, menyebutkan pembahasan seperti itu sesuka hawa nafsunya sendiri….

Majlisi mengomentari kisah istri nabi Luth dan nabi Nuh yang disebutkan dalam Al Quran sebagai berikut : nampak jelas bagi mereka yang cerdas bahwa ayat-ayat itu menyebutkan dengan jelas bahwa Aisyah dan Hafshah adalah munafik dan kafir.  Jilid 22 hal 33.
Majlisi menyebutkan sebuah riwayat dalam kitabnya : Dari Ibnu Abdul Hamid dia berkata : aku masuk menemui Abu Abdillah lalu dia memperlihatkan padaku kitab Al Quran.  Lalu aku membuka lembaran Al Quran itu lalu aku melihat ayat yang berbunyi : ini adalah jahannam yang kalian berdua dustakan.  Masuklah ke dalamnya kalian berdua tidak hidup dan tidak mati.  Majlisi berkata: mereka berdua adalah dua khalifah pertama, yaitu Abubakar dan Umar.  Di sini nampak jelas bahwa Majlisi mengatakan ada sebagian isi Al Quran yang telah disembunyikan dan dihapus seperti yang diyakini oleh syiah, yang memvonis bahwa Abubakar dan Umar akan kekal dalam neraka.

Referensi tambahan :

Al Marja'iyyah Addiniyah wa maraji'ul Imamiyah.  Nuruddin Asysyahurdi hal 85

Attasyayyu' al alawi wa tasyayyu' safawi.  Ali Syariati hal 204

Attasyayyu baina mafhum al a'immah wal mafhum alfarisi.  Muhamamd Al Bandari hal 63

Tsaqafatul Wasath.  Alauddin Al Mudarris hal 371

Asysyi'ah wa tasyayyu'.  Ihsan Ilahi Zahir hal 327

Al Hijroh Al Amiliyyah Ila Iran fi Asri Assafawi.  Ja'far Al Muhajir hal 81

Ushul Mazhab Syiah.  Nasir Al Qafari hal 199



      

Rabu, 21 Desember 2011


Ihya’ Ulumuddin al Ghazali

24NOV
image
Iman al Ghazali ( Lahir 450H – Wafat 505H ) terkenal kerana kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Disamping sanjungan yang tinggi keatasnya ada juga penentang dan penkritiknya di sepanjang zaman. Pada zaman sekarang beliau dikeritik , dan keritikan keatasnya boleh dibaca dibanyak laman sesawang, antaranya mengatakan beliau ( semuga rahmat allah keatasnya) bukan ahli hadis.
Pada zamannya, beliau dimusuhi oleh ahli ahli fekah pada zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin. Mereka telah menasihat sultan supaya kitabnya dibakar dan diharamkan pengedarannya.
Mendengar berita itu al Ghazali  di dalam sebuah majlis  atau kuliahnya berkata:
” Tuhan akan mengoyak-ngoyakkan kerajaan mereka sebagaimana  mereka telah mengoyak-ngoyak kitabku”.
Kebetulan di dalam majlis itu ada seorang pelajar dari Magribi bernama Muhamad bin Taumrut. Beliau begitu marah pada sultan Magribi dan berkata : “Wahai Imam, doakan kepada tuhan, semuga keruntuhan  kerajaan bani Tasyfin terjadi di tangan ku”.
Pelajar itu kemudian pulang ke Magribi dan membuat perancangan merebut kekuasan dari Bani Tasyfin. Bilau berjaya dan beliau sendiri menjadi raja Magribi bergelar Muwahhidin.
Kitab Ihya’ Ulumuddin kemudian diizinkan pengedarannya semula.
- masjid muaz bin jabal , setiawangsa, kl , melalui android galaxy tab

SERVICE HP & COMPUTER: Pernyataan Sikap Umat Islam Indonesia tentang Bahaya Syi'ah (Kutipan Lengkap)

SERVICE HP & COMPUTER: Pernyataan Sikap Umat Islam Indonesia tentang Bahaya Syi'ah (Kutipan Lengkap)

Pernyataan Sikap Umat Islam Indonesia tentang Bahaya Syi'ah (Kutipan Lengkap)

Ahad, 12 Jun 2011

Pernyataan Sikap Umat Islam Indonesia tentang Bahaya Syi'ah (Kutipan Lengkap)

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA AHLUSSUNNAH INDONESIA

Kami Ahlussunnah Indonesia menyatakan sikap bersama tentang keberadaan Syi’ah Imamiyyah Itsna ’Asyariyyah di Indonesia sebagai berikut:

MENIMBANG

1. Ajaran Ahlussunnah adalah Ajaran dan jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan Sahabatnya hingga hari kiamat. (Qs An-Nisa’ 115 dan Al-Hasyr 7)

2. Siapapun yang tidak sesuai dan bahkan menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah, berarti menyelisihi kebenaran, maka dia tersesat. (Qs. Yunus: 32 dan Al-An’am 55)

3. Ahlussunnah meyakini bahwa Al-Qur’anul Karim adalah Kitab yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap terjaga dari penambahan dan pengurangan hingga hari kiamat (Qs Al-Hijr 9). Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa Al- Qur’an yang ada terdapat pengurangan dan tidak otentik.

Ulama besar Syi’ah Husein bin Muhammad Taqi An Nuri At Tabarsi dalam kitabnya “Fashlul Khithob fi Itsbat Tahrif Kitab Rabbil arbab” berkata: “Ahlun Naqli Wal Atsar dari kalangan khusus (Syi’ah) dan umum (Ahlussunnah) sepakat bahwa Al-Qur’an yang di tangan umat Islam saat ini bukanlah Al-Qur’an seutuhnya”.

Dan Al-Qur’an versi Syi’ah disebut dengan mushhaf Fathimah berjumlah 17.000 ayat dan akan dibawa oleh Imam Mahdi (Al-Kafi juz, 2 hal. 597, cet Beirut dan Faslul Khithab hal 235).

4. Syi’ah menyelisihi Ahlussunnah dalam rukun iman. Ahlussunnah meyakini Rukun Iman ada Enam yaitu Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman Kitabkitab Allah, Iman kepada para Rasul Allah, Iman kepada Hari Kebangkitan, dan Iman kepada Qadar-Nya, baik ataupun buruk. Sedangkan Syi’ah meyakini bawa Rukun Iman ada 5 yaitu At Tauhid, An-Nubuwwah, Al-Imamah, Al-Adl, Al-Ma’ad.

5. Syi’ah menyelisihi Ahlussunnah dalam rukun Islam. Ahlussunnah meyakini Rukun Islam ada 5 yaitu dua kalimat Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Sedangkan Syi’ah meyakini bawa Rukun Islam ada 5 yaitu Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dan wilayah, bahkan Al-wilayah lebih utama di banding rukun Islam lainnya dalam kitab Ushul Kafi.

6. Ahlussunnah telah sepakat bahwa Manusia yang terbaik dari umat ini setelah Rasulullah adalah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq dan Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan menurut Syi’ah mereka berdua adalah kafir dan dilaknat oleh Allah, para malaikat dan manusia. (Al-Kafi juz 8 hal. 246, Haqqul Yaqin hal. 367 dan 519)

7. Ahlussunnah sepakat bahwa Mut’ah hukumnya Haram. Sedang Syi’ah menghalalkan Mut’ah.

8. Ahlussunnah meyakini bahwa ‘Ishmah (kema’shuman) hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa ‘Ishmah juga dimiliki oleh para Imam yang dua belas mereka.

9. Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah telah berdusta atas nama ahlul bait dalam hal menetapkan pokok-pokok ajaran.

10. Ahlussunnah di mata orang Syi’ah adalah kafir (Murtad), anak zina, halal darah dan hartanya.

11. Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ah sebagai berikut: Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.

12. Surat Edaran Departemen Agama Nomor D/BA.01/4865/1983, tanggal 5 Desember 1983 perihal “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah.”

13. Pada poin ke-5 tentang Syi’ah Imamiyah (yang di Iran dan juga merembes ke Indonesia, red) disebutkan sejumlah perbedaannya dengan Islam. Lalu dalam Surat Edaran Departemen Agama itu dinyatakan sbb: “Semua itu tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam ajaran Syi’ah Imamiyah pikiran tak dapat berkembang, ijtihad tidak boleh. Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan Imam ada gap atau jarak yang menganga lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat dan takhayul yang menyimpang dari ajaran Islam.” (Surat Edaran Departemen Agama No: D/BA.01/4865/1983, Tanggal: 5 Desember 1983, Tentang: Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah, butir ke 5).

MENYATAKAN

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan pandangan dari para narasumber, yang mewakili ormas-ormas Islam, mengambil kesimpulan dan menyatakan bahwa:

1. Ahlussunnah tidak dapat dipersatukan dengan Syi’ah, karena berbeda dalam Ushuluddin (Aqidah/Tauhid).

2. Syi’ah berbahaya bagi agama, bangsa dan negara.

3. Mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa lagi tentang sesatnya Syi’ah secara tegas.

4. Mendesak Pemerintah agar melarang Syi’ah dan aktivitasnya di seluruh wilayah Indonesia, agar tidak timbul konflik seperti di Irak, Yaman, Pakistan dan Negara lain.

5. Kami Ahlussunnah (Muslimin Indonesia) sangat menolak keras MUHSIN (Forum Ukhuwah Sunni-Syi’ah Indonesia) yang digagas beberapa waktu yang lalu oleh aktivis-aktivis Syi’ah dan oknum yang mengatasnamakan Muslimin Indonesia di Jakarta.

Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H/10 Juni 2011

AHLUSSUNNAH INDONESIA

Yang Membuat Pernyataan,

PP Muhammadiyah
(Agus Tri Sundani)

Nahdlatul ‘Ulama
(M. Idrus Ramli)

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
(Amlir Syaifa Yasin)

Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI)
(KH. A. Cholil Ridwan, Lc.)

Persis (Persatuan Islam)
(Tiar Anwar Bakhtiar)

Perhimpunan Al-Irsyad
(Aminullah)

Al-Bayyinat
(Achmad Zein Alkaf)

Lembaga Tarbiyah Islamiyyah
(Arif Munandar R.)

Gema Salam
(Abdurrahman Humaidan)

Pemuda Al-Irsyad Al-Islamiyah
(Fahmi.B.)

Hidayatullah
(P Gadiman Djojonegoro)

Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami (HASMI
(Aby Fadel)

KOEPAS
(M Rizal.S)

PP. Jum’iyyah An-Najat
(Muhammad Faisal, S Pd. M.MPd)

PP. Jam’iyah Ukhuwah Islamiyah
(Abdul Malik Akbar)

Wahdah Islamiyyah
Robithoh ‘Alawiyyah
Forum Kajian Aliran Agama (FKAA) Bandung

Upacara 10 Muharram Syiah dari perspektif ajaran Ahlus Sunnah

Upacara 10 Muharram dari perspektif ajaran Ahlus Sunnah

An Iraqi Shiite Muslim raises knives as he takes part in a ritual in Baghdad on December 17, 2010 during Ashura commemorations marking the 7th century killing of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed, in the Battle of Karbala in central Iraq.

An Iraqi Shiite Muslim raises knives as he takes part in a ritual in Baghdad on December 17, 2010 during Ashura commemorations marking the 7th century killing of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed, in the Battle of Karbala in central Iraq.

An Iraqi Shiite Muslim man bleeds from the head as he takes part in a ritual in Baghdad on December 17, 2010 during Ashura commemorations marking the 7th century killing of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed, in the Battle of Karbala in central Iraq.

An Iraqi Shiite Muslim after beating himself with a sword, during Muharram, a commemoration of the anniversary of the 7th century death of Imam Hussein, grandson of Islam's founding prophet, Muhammad. in Baghdad, Iraq, Thursday, Dec. 16, 2010.

Pakistani Shiite Muslim flagellate themselves during an Ashura procession in Quetta on December 17, 2010. Pakistan imposed blanket security December 17 as Shiite Muslims -- 20 percent of the population -- marked their holiest day, Ashura, which was last year marred by a bomb at a Karachi religious procession that killed 43 people.

A Kashmiri Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during a Ashura procession in Srinagar on December 17, 2010 held on the tenth day of Muharram, which commemorates the slaying of the Prophet Muhammad's grandson in southern Iraq in the seventh century. During the Shiite Muslim holy month of Muharram, large processions are formed and the devotees parade the streets holding banners and carrying models of the mausoleum of Hazrat Imam Hussain and his people, who fell at Karbala. Shias show their grief and sorrow by inflicting wounds on their own bodies with sharp metal tied to chain with which they scourge themselves, in order to depict the sufferings of the martyrs.

A Kashmiri Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during a Ashura procession in Srinagar on December 17, 2010 held on the tenth day of Muharram, which commemorates the slaying of the Prophet Muhammad’s grandson in southern Iraq in the seventh century. During the Shiite Muslim holy month of Muharram, large processions are formed and the devotees parade the streets holding banners and carrying models of the mausoleum of Hazrat Imam Hussain and his people, who fell at Karbala. Shias show their grief and sorrow by inflicting wounds on their own bodies with sharp metal tied to chain with which they scourge themselves, in order to depict the sufferings of the martyrs.

An Afghan Shiite Muslim man beats himself with chains and blades during a Muslim ritual on the last day of Ashura celebrations in the streets of Kabul on December 16, 2010. Ashura, a public holiday in Afghanistan, is the final day of 10 days of mourning for the killing of the grandson of Prophet Mohammad in the year 680. Sunnis mark it quietly but Shiites hold public displays of grief, including flaying their backs with whips and chains which sometimes have small blades attached to their ends.

An Indian Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

An Indian Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed’s grandson Imam Hussein in Karbala.

An Afghan Shiite Muslim man beats himself with chains and blades during a Muslim ritual on the last day of Ashura celebrations in the streets of Kabul on December 16, 2010. Ashura, a public holiday in Afghanistan, is the final day of 10 days of mourning for the killing of the grandson of Prophet Mohammad in the year 680. Sunnis mark it quietly but Shiites hold public displays of grief, including flaying their backs with whips and chains which sometimes have small blades attached to their ends.

An Indian Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

Pool of blood is seen under the feet of an Indian Shiite Muslim during a Muharram procession in New Delhi, India, Friday, Dec. 17, 2010. Muharram is a month of mourning in remembrance of the martyrdom of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed.

An Indian Shiite Muslim bleeds after flagellating himself with a cluster of knives during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

An Indian Shiite Muslim bleeds after flagellating himself with a cluster of knives during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed’s grandson Imam Hussein in Karbala.

An Indian Shiite Muslim looks on as he take part in a self-flagellation ritual during a religious procession of the Ashura mourning period in Kolkata on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

An Indian Shiite Muslim takes part in a self-flagellation ritual during a religious procession of the Ashura mourning period in New Delhi on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

Some two million Shiite Muslim pilgrims complete their Ashura rituals in the holy city of Karbala, south of Baghdad, under heavy security for fear of attacks as commemoration ceremonies peacefully marked on December 17, 2010 the killing of Imam Hussein (portrait) by armies of the caliph Yazid in 680 AD.

Some two million Shiite Muslim pilgrims complete their Ashura rituals in the holy city of Karbala, south of Baghdad, under heavy security for fear of attacks as commemoration ceremonies peacefully marked on December 17, 2010 the killing of Imam Hussein (portrait) by armies of the caliph Yazid in 680 AD.

A Kashmiri Shiite Muslim flagellates himself with a cluster of knives during the Ashura procession in Srinagar on December 17, 2010 held on the tenth day of Muharram, which commemorates the slaying of the Prophet Muhammad's grandson in southern Iraq in the seventh century. During the Shiite Muslim holy month of Muharram, large processions are formed and the devotees parade the streets holding banners and carrying models of the mausoleum of Hazrat Imam Hussain and his people, who fell at Karbala. Shias show their grief and sorrow by inflicting wounds on their own bodies with sharp metal tied to chain with which they scourge themselves, in order to depict the sufferings of the martyrs.

An Indian Shiite Muslim prepares to put a cut on the forehead of a child being held by his father, during a Muharram procession in Hyderabad, India, Friday, Dec. 17, 2010. Muharram is a month of mourning in remembrance of the martyrdom of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed.

An Indian Shiite Muslim cuts the forehead of a Shiite child during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

An Indian Shiite Muslim cuts the forehead of a Shiite child during a religious procession during the Ashura mourning period in Mumbai on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed’s grandson Imam Hussein in Karbala.

NEW DELHI, INDIA - DECEMBER 17: A Shiite Muslim beats his chest as part of a self-flagelation ritual during a religious procession of the Ashura mourning period on December 17, 2010 in New Delhi, India. The religious festival of Ashura involves a ten day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorating the slaying of Prophet Muhammad's grandson Imam Hussein in the seventh-century during the battle of Karbala. Men take part in a ritual beating of themselves as they mourn the martyrdom of Husayn ibn Ali.

An Indian Shiite Muslim sprays water on the wounds of other Indian Shiite Muslims taking part in a self-flagellation ritual during a religious procession of the Ashura mourning period in Kolkata on December 17, 2010. The religious festival of Ashura, which includes a ten-day mourning period starting on the first day of Muharram on the Islamic calendar, commemorates the seventh-century slaying of Prophet Mohammed's grandson Imam Hussein in Karbala.

People carry a Shiite Muslim bleeding after flagellating himself during a Muharram procession in Jammu, India, Friday, Dec. 17, 2010. Muharram is a month of mourning in remembrance of the martyrdom of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed.

People carry a Shiite Muslim bleeding after flagellating himself during a Muharram procession in Jammu, India, Friday, Dec. 17, 2010. Muharram is a month of mourning in remembrance of the martyrdom of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed.

An Indian Shiite Muslim rests after flagellating himself during a Muharram procession in New Delhi, India, Friday, Dec. 17, 2010. Muharram is a month of mourning in remembrance of the martyrdom of Imam Hussein, the grandson of Prophet Mohammed.

A Pakistani Shiite Muslim flagellates himself during an Ashura procession in Quetta on December 17, 2010. Pakistan imposed blanket security December 17 as Shiite Muslims -- 20 percent of the population -- marked their holiest day, Ashura, which was last year marred by a bomb at a Karachi religious procession that killed 43 people.

Upacara 10 Muharram

Setiap tahun tanggal 10 Muharram penganut-penganut Syi’ah akan mengadakan upacara pengkabungan kononnya sebagai tanda memperingati kematian Imam Husain. Mereka akan mengadakan pelbagai upacara seperti menampar-nampar muka dan dada, menyiksa diri dengan melukakan tubuh serta kepala dengan pisau-pisau kecil bahkan ada yang menggunakan pedang sehingga tubuh dibasahi darah. Di samping itu seorang dari kalangan mereka yang di gelari dengan nama “Zakir Husain” akan mengumandangkan syair-syair ratapan menceritakan penderitaan Ahlul Bait Rasulullah s.a.w. dan kezaliman yang dilakukan terhadap mereka diselangi dengan caci maki terhadap Bani Umayyah dan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang dianggap mereka sebagai perampas hak Ahlul Bait.

Namun begitu apakah amalan tersebut merupakan ajaran Imam-imam yang dianggap maksum oleh mereka? Jawapannya akan ditemui setelah ditinjau dari perspektif ajaran Ahlus Sunnah dan Syi’ah.

Ahlus Sunnah sepakat bahawa amalan tersebut merupakan amalan jahiliyyah dan diharamkan berdasarkan kepada hadis daripada Rasulullah s.a.w. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadis daripada Ibnu Mas’ud r.a. bahawa Nabi s.a.w. telah bersabda, “Bukan dari kalangan kami orang yang memukul-mukul pipi, mengoyak-ngoyak kolar baju dan menyeru dengan seruan jahiliyyah.”(Sahih Bukhari Kitabul Janaaiz dan Muslim Kitabul Iman). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Malik Al-Asy’ari bahawa Rasulullah s.a.w. telah bersabda.” Meratap adalah termasuk dari amalan jahiliyyah, orang yang meratap bilamana dia meninggal dunia dalam keadaan tidak sempat bertaubat, Allah akan memakaikan kepadanya pakaian dari minyak tar (yang panas) dan baju dari nyalaan api neraka”.(Sunan Ibnu Majah bab larangan dari meratap).

Dua hadis yang tersebut di atas membuktikan bahawa amalan tersebut dilarang oleh Rasulullah s.a.w. dengan disertai janji azab di hari kiamat kelak bagi orang yang melakukannya. Kerana itu tidak ada ulama dari kalangan Ahlus Sunnah yang mengharuskannya apa lagi untuk melakukannya serta menjadikannya sebagai satu syiar.

Akan tetapi ada di kalangan ulama Syi’ah mengharuskan amalan tersebut. Di antara mereka Ayatullah Al-Uzma Jawad At-Tibrizi mengatakan, “Syi’ah pada zaman Imam-imam a.s. hidup dalam keadaan taqiyyah (menyembunyikan pegangan mereka serta menyatakan tidak sebagaimana yang dianuti). Oleh itu tidak terdapatnya syiar-syiar sebegini pada zaman mereka bukan menunjukkan amalan tersebut tidak di syariatkan untuk zaman ini. Andaikata Syi’ah pada zaman mereka hidup di zaman ini sudah tentu mereka akan melakukan sebagaimana yang kita lakukan ini seperti menaikkan bendera-bendera hitam dalam menghidupkan upacara mengingati Imam Husain begitu juga di rumah-rumah untuk menyatakan kesedihan”.(Lampiran Siratun Najah Imam Khu’ie jilid 2 hal 562 soalan 1741).

Daripada fatwa yang dinyatakan oleh At-Tibrizi tersebut timbul satu persoalan, “Bukankah Imam Maksum menyuruh supaya kamu menyembunyikan agama kamu kerana ianya membawa kepada kemulian sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Kulaini di dalam kitab paling sahih di sisi Syi’ah iaitu Al-Kafi daripada Imam Jaa’far As-Sadiq a.s. bahawa ia berkata kepada Sulaiman bin Khalid, “Sesungguhnya kamu berada di atas agama yang mana sesiapa yang menyembunyikannya akan dimuliakan oleh Allah dan sesiapa yang menzahirkannya akan dihina oleh Allah. (Al-Kafi jilid 2 hal 223)

Berdasarkan kepada dua hadis melalui riwayat Ahlus Sunnah dan fatwa daripada At-Tibrizi di atas, berlaku pertembungan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah dalam persoalan berkaitan ratapan dan perkabungan ini. Bagaimana pula pendapat Imam-imam Ahlul Bait? Apakah ianya bertepatan dengan apa yang diamalkan oleh penganut Syi’ah sekarang atau sebaliknya? Untuk mengetahui pegangan mereka perlulah dilakukan kajian berdasarkan kitab-kitab muktabar Syi’ah sendiri.

Di dalam Nahjul Balaghah, Syarif Radhi mengemukakan kata-kata Sayyidina Ali r.a. yang bermaksud,”Sesiapa yang memukul tangannya ke atas pahanya ketika ditimpa musibah maka binasalah amalannya”.(Nahjul Balaghah juz 4 hal. 34). Al-Kulaini juga mengemukakan kata-kata yang sama daripada Imam Jaa’far As-Sadiq.(Al-Kafi jilid 3 hal 225). Sayyidina Ali r.a. juga menghubungkan amalan tersebut dengan amalan jahiliyyah sebagaimana yang dinukilkan oleh Mulla Baqir Al-Majlisi dengan katanya,”Tiga perkara termasuk dari amalan jahiliyyah di mana manusia melakukannya secara berterusan, memohon hujan dengan bintang, mencela keturunan orang lain dan meratapi kematian seseorang.”(Biharul Anwar jilid 82 hal 101). Ibnu Babuwaih Al-Qummi yang digelarkan dengan As-Saduq (seorang yang sangat benar) menyebutkan bahawa antara ucapan Rasulullah s.a.w. ialah “Meratap termasuk dari amalan Jahiliyyah”.(Man Laa Yahdhurul Faqih jilid 4 hal 271). Di tempat yang lain beliau menukilkan kata-kata Imam Ali yang bermaksud,”Jangan memakai pakaian hitam kerana ia adalah pakaian Fir’aun”. (ibid hal 51)

Apa yang dikemukakan diatas merupakan sebahagian riwayat daripada Imam-imam Ahlul Bait yang jelas mengeluarkan amalan tersebut daripada ajaran Islam. Bahkan jika dinilai amalan tersebut ianya langsung tidak bersesuaian dengan agama Islam yang suci dan fitrah manusia. Fitrah yang suci sudah pasti tidak akan dapat menerima sesuatu amalan yang mendatangkan siksaan serta kesakitan kepada tubuh badan sebagai satu ajaran agama yang suci.

Kalau begitu apakah maksud sebenar penganut Syi’ah mengadakan upacara-upacara tersebut? Amalan tersebut jika diteliti dari pelbagai sudut sekalipun tidak mendatangkan sebarang kebaikan bahkan mendatangkan keburukan dan kesakitan pula di samping membuang masa serta berlakunya pembaziran. Apakah dengan upacara tersebut penganut Syi’ah akan dapat mengheret pembunuh Sayyidina Husain serta dapat menghalang Imam mereka daripada dibunuh? Sayyidina Husain r.a. sudahpun mendapat kemulian syahid dan sudah pasti ia berada di Syurga sebagaimana sabda Nabi s.a.w. bahawa dia adalah salah seorang penghulu pemuda syurga. Begitu juga yang pasti pembunuhnya sudahpun mendapat pembalasan dari Allah Ta’ala di samping menunggu balasan yang lebih dahsyat lagi andaikata tidak sempat bertaubat sebelum kematiannya.

Di samping itu apakah maksud mereka mengungkapkan caci maki terhadap Bani Umayyah di dalam upacara tersebut? Bukankah Allah Ta’ala memerintahkan supaya mendoakan keampunan kepada orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman. Andaikata penganut Syi’ah mengatakan maksud mereka adalah untuk mengenang perjuangan yang dilakukan umat terdahulu serta membangkitkan semangat penentangan terhadap golongan yang melakukan kezaliman terhadap umat Islam terutamanya Ahlul Bait, kenapa tidak dilakukan ratapan terhadap kesyahidan abangnya Hasan atau ayahnya Ali r.a?. Sedangkan Sayyidina Ali syahid di tangan golongan yang di terima sebagai sesat oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Apakah kesyahidan Husain r.a. adalah lebih besar lagi daripada ayahnya?. Ataupun mengapa tidak dilakukan perkabungan ke atas Hamzah r.a. bapa saudara Nabi s.a.w. yang syahid di tangan musuh Islam dalam peperangan bersama Rasulullah s.a.w.? Atau mengapa tidak perkabungan di atas kematian Rasulullah s.a.w. sendiri?

Jawapannya adalah dengan meneliti amalan yang dilakukan dalam upacara perkabungan tersebut. Antaranya menggembar-gemburkan kezaliman serta kekejaman yang dilakukan Yazid dan tenteranya terhadap Sayyidina Husain r.a. dan keluarganya dalam keadaan dunia sudahpun mengakui bahawa Yazid adalah seorang pemimpin bagi Umat Islam dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Kalaulah tujuan dibangkitkan dan dikemukakan sejarah kekejaman dan kezaliman yang dilakukan oleh Yahudi baik dahulu dan kini adalah dengan maksud untuk membangkitkan kebencian terhadap mereka di samping keinginan untuk membalas dendam terhadap mereka, maka tidak salah untuk mengatakan maksud mengadakan upacara perkabungan terhadap Sayyidina Husain r.a. dengan mengulangi sebutan kezaliman Yazid dan Bani Umayyah adalah dengan tujuan serta maksud yang sama terhadap golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

………………………………………………………………….

PERAYAAN 10 MUHARRAM SYIAH

Perayaan ini merupakan hari penyesalan pengikut Syiah di Kufah setelah mereka membunuh Sayyidina Husein di Kufah. Merekalah yang menjemput al-Husein ke Kufah kemudian menipu cucu Rasulullah lalu membunuhnya. Ini dijelaskan dengan nyata oleh penulis Syiah Muhsin al-Amin dalam kitabnya A’yan al-Syiah dan Mula Baqir al-Majlisi dalam kitabnya berbahasa Parsi ; Jila’ al-Uyun. Kelompok yang telah membunuh al-Husein ini dikenal dalam sejarah sebagai golongan ‘al-Tawwabun’ (orang-orang yang menyesal). Syiah telah mempropaganda kononya khalifah Yazid bin Mua’wiyah sebagai pembunuh al-Husein dengan meriwayatkan hadis palsu dicipta oleh mereka.

………………………………………………………………..

DISEBALIK TRAGEDI MUHARRAM

Apabila tiba bulan muharram, umat Islam sering dihidangkan dengan kisah kekejaman salah seorang khalifah Islam yang terdiri dari kalangan khalifah Bani Umaiyah iaitu Khalifah Yazid bin Mu’awiyah r.a. dan turut dihidangkan sama kisah-kisah penderitaan anak cucu Nabi Muhammad s.a.w. terutamanya Sayyidina Husain r.a. yang kononnya menjadi mangsa kekejaman Yazid.

Namun begitu sejauhmanakah kebenaran kisah-kisah tersebut ataupun ianya tidak lebih dari cerita-cerita penglipurlara golongan yang memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Peristiwa ini jugalah yang menyebabkan umat Islam dengan mudah menelan segala cerita khayalan dan fantasi mengenai kejahatan serta kebejatan khalifah Yazid yang diada-adakan oleh musuh-musuh Islam dengan maksud untuk memadamkan kegemilangan sejarah pemerintahan serta tamaddun Islam.

Kalau dilihat sejenak kepada kitab-kitab sejarah maka akan ditemui banyak percanggahan berkenaan peristiwa tersebut. Di dalam sesetengah kitab terdapat riwayat yang menunjukkan bahawa golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain r.a. ialah tentera Yazid namun di dalam kitab yang sama tetapi di tempat yang lain pula disebutkan Syi’ah Iraqlah (Kufah) yang bertanggungjawab dalam peristiwa tersebut. Dan kalaulah diperhatikan kepada semua riwayat yang memuatkan cerita-cerita tersebut baik yang khusus berkenaan pembunuhan Sayyidina Husain r.a. di tangan Yazid serta kisah kejahatan dan amalan buruk Yazid ianya tidak lebih daripada rekaan golongan yang ditolak periwayatan mereka oleh ulama-ulama ilmu rijal (ilmu untuk menilai pewarta).

Antara cerita daripada perawi-perawi tersebut ialah apa yang dikemukakan oleh Imam Thabari dan Imam Ibnu Kathir daripada Abu Mikhnaf Lut bin Yahya (Tarikh Thabari jilid 3 hal.305-342 dan Al-Bidayah Wan Nihayah jilid 8 hal. 217),Al-Baladzuri daripada Al-Waqidi (Ansabul Ashraf jilid 4 hal. 21-30) begitu juga Ibnu Sa’ad (Tabaqat Ibnu Sa’ad) dan lain-lain lagi seperti Ibnu ‘Asakir (Dalaailun Nubuwwah), Khalifah bin Khayyat (Tarikh Khalifah bin Khayyat), Al-Mas’udi (Murujuz Zahab), Al-Ya’kubi (Tarikh Ya’kubi). Kalau diperhatikan kepada semua riwayat berkenaan Khalifah Yazid ianya berpunca daripada mereka berdua serta Muhammad bin Zakaria Al-Ghallabi, Umar bin Syabbah dan Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi bahkan boleh dikatakan 90 peratus peristiwa Karbala ini berpunca daripada Abu Mikhnaf.

Lalu jika diteliti siapakah mereka itu maka akan didapati mereka adalah golongan yang ditolak periwayatannya oleh ulamak-ulamak muktabar. Antaranya ialah Muhammad bin Umar yang lebih dikenali dengan gelaran Al-Waqidi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam “Lisanul Mizan” dengan katanya, “Seorang yang ditinggalkan periwayatannya walaupun luas ilmunya”(jilid 3 hal. 288). Ibnu Ma’in berkata, “Seorang yang tidak ada nilainya”(Tarikh Ibnu Ma’in jilid 2 hal. 532). Abu Hatim, Nasaie berkata, “Riwayatnya ditolak” dan Imam Abu Zur’ah berkata, “Seorang yang lemah riwayatnya” (Al-Jarh Wat-Ta’dil juz 8 hal. 20 dan Adh-Dhu’afaa’ lin Nasaie hal 557).

Berkenaan dengan Abu Mikhnaf pula Imam Zahabi menyebutkan dalam “Mizanul I’tidal” bahawa “Beliau seorang yang tidak boleh dipercayai”, Abu Hatim dan lain-lain ulama jarh dan ta’dil telah meninggalkannya (tidak menerima riwayatnya). Daaraqutni berkata, “Dia seorang yang lemah”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia seorang yang tidak boleh dipercayai”. Murrah berkata, “Dia seorang yang tidak bernilai”, dan Ibnu ‘Adiy berkata, “Dia adalah seorang Syi’ah, pereka cerita “.(Mizanul I’tidal juz 3 hal 419)

Begitulah juga keadaan perawi-perawi yang lain bagi peristiwa tersebut. Riwayat-riwayat mereka langsung tidak ada nilainya di sisi ulamak-ulamak ilmu rijal. Untuk mengetahui kedudukan mereka boleh dirujuk kitab-kitab rijal seperti Lisanul Mizan, Mizanul I’tidal, Al-jarh Wat-Ta’dil, Adh-Dhu’afaa Ibni ‘Adiy, Adh-Dhu’afaa Lin Nasaie dan lain-lain lagi.

Di satu sudut lain pula di dalam kitab-kitab sejarah, catatannya adalah berlainan dari apa yang tersebar dalam masyarakat umat Islam umumnya. Antaranya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Kathir bahawasanya bilamana Muhammad bin Ali Al-Hanafiah (anak Ali r.a.) diajak supaya memberontak terhadap Yazid maka beliau berkata, “Sesungguhnya saya telah datang menemuinya dan tinggal bersamanya beberapa lama maka saya dapati ia seorang yang kuat menjaga solat, suka kepada kebaikan, selalu bertanya tentang masalah feqah dan berpegang teguh kepada sunnah. (Al-Bidayah Wan Nihayah jilid 8 hal. 233).

Sejarawan Al-Baladhzuri telah mengemukakan satu riwayat bahawa Amir bin Mas’ud Al-Jumahi berkata,”Ketika saya berada di Makkah, datang seorang membawa berita tentang kematian Mu’awiyah r.a.. Kami pun bangun dan pergi menemui Ibnu Abbas r.a. yang ketika itu juga berada di Makkah, di samping beliau ada beberapa orang sedang duduk. Hamparan hidangan sudahpun dibuka tetapi makanan belum lagi dihidangkan pada ketika itu. Maka kamipun berkata kepadanya, “Hai Ibnu Abbas! Utusan datang membawa berita kematian Mu’awiyah. Mendengar berita itu beliau terdiam beberapa lama. Kemudian beliau pun berkata, “Ya Allah! Perluaskanlah rahmat untuk Mu’awiyah. Demi Allah, bukanlah dia sama seperti orang-orang sebelumnya dan tidaklah pula akan datang sesudahnya orang sepertinya. Sesungguhnya anaknya Yazid adalah salah seorang yang soleh dari ahli keluarganya. Oleh itu hendaklah kamu berada di tempat masing-masing dan serahkan ketaatan dan bai’ah kamu kepadanya”. (Ansabul Ashraf jilid 2 hal 2).

Imam Ali Zainal Abidin walaupun pernah beberapa lama bersama dengan Yazid selepas kesyahidan ayahnya Husain r.a. serta keluarganya di Karbala namun tidak ada satupun riwayat daripada beliau yang menyebutkan bahawa Yazid ada melakukan perkara-perkara buruk seperti minum arak, meninggalkan solat bahkan beliau adalah orang yang memberikan taat setia kepada Yazid sehingga enggan untuk turut sama dalam pemberontakan terhadap Yazid selepas itu. (Mawaqiful Mu’aradhah hal.383)

Antara sahabat agung yang pernah bersama Yazid adalah Nu’man bin Basyir dan Abdullah bin Jaafar bin Abi Talib r.a. Mereka berdua juga tidak pernah menyebutkan bahawa Yazid melakukan amalan-amalan maksiat tersebut sebagaimana yang disebarkan oleh orang-orang seperti Abu Mikhnaf.

Kitab-kitab sejarah juga menggambarkan kesetiaan sahabat-sahabat r.a. yang masih hidup kepada kepimpinan Yazid dan keengganan mereka untuk memberontak terhadap Yazid walaupun didorong supaya berbuat demikian bahkan lebih dari itu mereka memberi nasihat pula kepada golongan yang ingin memberontak termasuk kepada Husain r.a. sendiri. Antara mereka adalah Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Waqid Al-Laithi r.a. dan lain-lain lagi.(lihat Al-Bidayah Wan Nihayah jilid 8 hal 176, Tarikh Thabari jilid 4 hal 254 dan 288).

Apabila kelihatan dua kenyataan sejarah berkenaan dengan Yazid yang saling bercanggah, bagaimanakah cara untuk mengkompromikannya? Bagi Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepatutnya tidak melupakan catatan sejarah di dalam kitab paling sahih di sisi mereka selepas Al-Quran di mana Imam Bukhari mengemukakan satu riwayat daripada Ibnu Abi Nu’min bahawa dia berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar r.a. ditanya oleh seseorang (penduduk Iraq) tentang seorang yang memakai ihram lalu dia membunuh lalat (apakah dendanya)? Lantas Ibnu Umar r.a. menjawab, penduduk Iraq bertanyakan tentang (denda) membunuh lalat? Sedangkan mereka telah membunuh anak lelaki kepada anak perempuan (cucu) Rasulullah s.a.w.”. (Sahih Al-Bukhari, Kitabul Manaqib jilid 1 hal. 531).

Bukankah jelas di dalam riwayat ini Ibnu Umar r.a. mengisyaratkan bahawa pembunuh cucu Rasulullah s.a.w. itu adalah penduduk Kufah? Jadi mana-mana riwayat yang bertepatan dengan isyarat di dalam riwayat sahih ini maka ia menjadi penguat kepada riwayat tersebut dan sebaliknya mana-mana riwayat yang bertentangan dengan riwayat yang sahih maka ia tidak boleh diterima lagi.

Kerana itu ulama Ahlus Sunnah ada di antaranya dengan jelas mengatakan bahawa pembunuh Sayyidina Husain r.a. yang sebenarnya bukanlah Yazid. Antaranya Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan, “Sesungguhnya tidak terbukti sama sekali bahawa Yazid yang membunuh Husain r.a. Kerana itu tidak harus untuk dikatakan bahawa beliaulah yang membunuh Husain r.a. ataupun yang memerintahkannya, apatah lagi untuk melaknatnya kerana tidak harus menisbahkan seseorang muslim kepada suatu dosa besar tanpa sebarang kepastian”. (Ihya’ Ulumiddin jilid 3 hal 134)

Ibnus Solah mengatakan, “Tidak sahih di sisi kita bahawa Yazid telah memerintahkan supaya Husain r.a. dibunuh”. (Fatawa Wa Masaail Ibnus Solah jilid 1 hal 216).

Ibnu Hajar sendiri selepas mengemukakan hadis berkenaan tentera yang mula-mula merentasi lautan berkata, “Imam Muhallab berkata, Hadis ini menunjukkan kedudukan yang mulia untuk Mu’awiyah r.a. kerana dialah orang yang mula-mula berperang merentasi lautan dan juga kedudukan mulia anaknya Yazid kerana dialah orang yang mula-mula memerangi Bandar Qaisar”. (Fathul Bari jilid 6 hal. 114)

Bahkan Imam Ibnu Kathir selepas mengemukakan riwayat-riwayat sejarah tersebut telah membuat komentar dengan katanya,” Syi’ah Rafidhah telah melakukan banyak pembohongan dan membawa khabar-khabar yang tidak benar sama sekali di dalam cerita-cerita kesyahidan Husain r.a.. Kisah-kisah yang telah dikemukakan sudahpun memadai. Kalaulah tidak kerana imam-imam sejarah seperti Ibnu Jarir At-Thabari dan lain-lain menyebutkannya tentu sekali saya juga tidak akan mengemukakannya. Kebanyakannya adalah melalui riwayat Abu Mikhnaf Lut bin Yahya sedangkan dia adalah seorang Syi’ah dan dia adalah seorang yang lemah dalam periwayatan menurut tokoh-tokoh sejarah. (Al-Bidayah Wan Nihayah jilid 8 hal. 220)

Bagi golongan Syi’ah pula sepatutnya tidak lupa untuk mengkaji catatan ulama-ulama muktabar di dalam kitab-kitab utama pegangan mereka. Umpamanya di dalam Al-Ihtijaj ‘Ala Ahlil Lajaj, Ahmad bin Ali bin Abi Talib At-Thabarsi menulis bahawa Imam Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain r.a. yang ikut serta dalam rombongan Husain r.a. ke Kufah telah berkata kepada penduduk Kufah, “Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sedar bahawasanya kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu kerana amalan buruk yang telah kamu lakukan untuk dirimu”.(Al-Ihtijaj juz 2 hal. 306)

Pada halaman sebelumnya At-Thabarsi mengemukakan kata-kata Fatimah As-Shughra anak perempuan Sayyidina Husain r.a. kepada penduduk Kufah, “Wahai Penduduk Kufah, wahai pembelot dan pengkhianat! Kami adalah Ahlul Bait yang Allah Ta’ala menguji kami dengan kamu dan menguji kamu dengan kami,” seterusnya selepas memuji-muji kedudukan Ahlul Bait beliau berkata lagi, “Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami sebagaimana kamu telah membunuh datuk kami Ali r.a.. Pedang-pedang kamu sentiasa menitiskan darah-darah kami Ahlul Bait”.(Al-Ihtijaj juz 2 hal 302).

Mulla Baqir Al-Majlisi yang diberikan gelaran Khatimatul Muhaddithin (penyudah kepada ahli-ahli hadis) di sisi Syi’ah menukilkan kata-kata Sayyidina Husain r.a. kepada Syi’ah Kufah yang telah bersiap untuk bertempur dengan beliau,”Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-musuh dalam menentang kami”.(Jilaau Al’ Uyun,hal 391).

Di dalam kitab A’yanus Syi’ah pengarangnya Sayyid Muhsin Al-Amin mengatakan bahawa “seramai dua puluh ribu penduduk Iraq telah berbai’ah kepada Husain kemudian mereka mengkhianatinya lalu memberontak terhadapnya dalam keadaan bai’ah masih lagi berada di tengkuk-tengkuk mereka dan membunuhnya”.(A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 34).

Dan banyak lagi kitab-kitab Syi’ah menukilkan perkara yang sama seperti Al-Irsyad Syeikh Mufid hal. 234, I’lamul Wara hal. 242, Kasyful Ghummah jilid 2 hal 18 dan lain-lain lagi.

Berdasarkan kepada segala fakta yang dikemukakan di atas dapatlah disimpulkan bahawa segala cerita berkenaan kezaliman Yazid dan tenteranya tidak lebih daripada dongengan yang datangnya dari kilang-kilang Syi’ah terutamanya Abu Mikhnaf Lut bin Yahya. Kerana itulah tidak akan ditemui riwayat-riwayat tersebut di dalam mana-mana kitab bertaraf sahih di sisi Ahli Sunnah Wal Jamaah. Riwayat sahih yang ada sebagaimana yang telah dikemukakan sebelum ini begitu jelas bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sejarah. Bahkan kalau dikaji apa yang terdapat di dalam kitab-kitab Syi’ah yang merupakan rujukan utama mereka seperti Al-Ihtijaj, Al-Irsyad dan lain-lain akan didapati perkara sebaliknya iaitu pembunuh Husain yang sebenar adalah penduduk Kufah yang terkenal sebagai golongan Syi’ah

………………………………………………………………….

SYIAH KUFAH PEMBUNUH AL-HUSEIN R.A

Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi” bahawa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial. Seorang daripadanya Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin dimusnahkan imejnya walaupun semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Mansor Al Hallaj. Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq dan salah seorang daripada golongan qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir billah telah menghukumkan beliau murtad berdasarkan fatwa sekalian ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu, tetapi imejnya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ‘ aulia illah’.

Bagaimanapun semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia yang jauh daripada berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat daripada tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.

Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya menjelaskan kepada kita bahawa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim, budiman, saleh dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf” mengatakan bahawa, ” Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata : ” Sesungguhnya anaknya Yazid adalah daripada keluarga yang saleh. Oleh itu tetaplah kamu berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’ah kamu kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, m.s. 4).

Sejarawan Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa’ Abbasiah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid ‘ Amirul Mukminin’.

Abdullah Ibn Umar yang dianggap sebagai orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pula bersikap tegas terhadap orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibn Zubair terhadap kerajaan Yazid dan sikap yang begini disebut di dalam Sahih Bukhari bahawa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’ah mereka terhadap Yazid bin Muawiyah maka Ibn Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya lalu berkata, ” Saya pernah mendengar Rasulullah S.A.W bersabda, ” Akan dipacakkan bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai’ahnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai’ah kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar daripada kita berbai’ah kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada sesiapa daripada kamu membatalkan bai’ah kepadanya dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka terputuslah perhubungan di antaraku dengannya”. (Sahih Bukhari -Kitabu Al Fitan)

Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan Islam kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain di zaman pemerintahan Yazidlah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu sekali orang yang membunuh menantu Rasulullah s.a.w yang tersayang-dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian ditatang pula dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam hadis-hadits Baginda- tidak akan dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang soleh, budiman, bertaqwa dan pemimpin umat Islam.

Kerana itulah cerita-cerita seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka mendengar muzik dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.

Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain dibunuh di Karbala?

Selagi tidak dapat ditentukan siapakah pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan ‘ Yazidlah pembunuhnya’ tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh Sayyidina Husain itu bukan Yazid ? Kemanakah pula akan kita bawakan segala tuduhan-tuduhan liar, fitnah dan caci maki yang selama ini telah kita sandarkan pada Yazid itu ?

Jika kita seorang yang cintakan keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain yang sebenar. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh daripada sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal Islam.

Sekarang marilah kita pergi ke tengah-tengah medan penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala bersama-sama dengan sekian ramai ahli keluarganya.

……………………………………………………………….

PEMBUNUH SAYYIDINA HUSAIN ADALAH SYIAH KUFAH

Terlebih dahulu kita akan menyatakan dakwaan kita secara terus terang dan terbuka bahawa pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid tetapi adalah golongan Syiah Kufah.

Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti kepada dua bahagian :

(1) Bukti-bukti utama
(2) Bukti-bukti sokongan

I. BUKTI-BUKTI UTAMA

Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai pesalah dan sebagai penjenayah yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.

Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang kononnya menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah kerana kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.

Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun cuba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.

Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah Syustri dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baaqir Majlisi menulis :

“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, ” Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Ketua Pemuda Ahli Syurga” kerana Ibn Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa-apa”. (Jilaau Al’Uyun, m.s. 430)

Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al’Mu’minin bahawa selepas sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata, ” Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita “. Dengan itu berkumpullah sekian ramai orang-orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, ” Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu “. (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun”.

Sejarah tidak melupai dan tidak akan melupai peranan Syits bin Rab’ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab’ie? Dia adalah seorang Syiah pekat, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?

Sejarah memaparkan bahawa dialah yang mengepalai 4,000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. (Jilaau Al’Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 37)

Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiahnya Syits bin Rab’ie dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mulla Baaqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal ? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.

Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah mendedahkan kepada kita bahawa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran ? (Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 192)

Selain daripada pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, kenyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup selepas peristiwa ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat dirakamkan oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau :

” Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam menentang kami “. (Jilaau Al’ Uyun, ms 391).

Beliau juga berkata kepada Syiah :

” Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami ? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang sebab? ” (Ibid).

Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau :

” Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka kerana mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami “. (Ibid)

Beliau juga dirakamkan telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya”. (Mulla Baqir Majlisi-Jilaau Al’Uyun, m.s. 409).

Daripada kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mulla Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahawa :

(i) Diayah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam menerusi penulisan sejarah bahawa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Siffin dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata kerana pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.

(ii) Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala ke atas Syiah.

(iii) Upacara menyeksa tubuh badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah.

Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.

(iv) Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian ramai ahli keluarganya walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya kerana sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram ?

Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, ” Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka ?” (At Thabarsi-Al Ihtijaj, m.s. 156).

Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau, ” Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sedar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu kerana amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu”.

Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, ” Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering kerana kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kamu meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun”. (Jilaau Al ‘ Uyun, ms 424).

Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.

Ummu Kulthum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, ” Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari ahli rumahnya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu”.

Beliau juga berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti”. (Ibid, ms 426-428)

Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain pula berkata, ” Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh datukku Ali (Sayyidina Ali). Sentiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih “.

Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syiah berada.

Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :

1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.

2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.

3. Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiahlah yang telah membunuh mereka.

4. Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung kerana kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.

Mahkamah di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu kes pembunuhan, iaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan kemuncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah sebagai kes pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu ?

II. BUKTI-BUKTI SOKONGAN

Walaubagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah :

1. Tidak sukar untuk kita terima mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap mereka yang biadap terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar luaskan propaganda- propaganda mereka terhadap tertuduh itu.

Di antara kebiadapan mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudiannya membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.

Di dalam Jilaau Al’ Uyun disebutkan bahawa Abdul Rahman Ibn Muljim adalah salah seorang daripada kumpulan yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai’ah dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ” Bahawa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapamu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mahu membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya”. (Jilaau Al U’yun, ms 218)

Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan perancangan mereka semua akan gagal apabila perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah dipersetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-mush Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah berlaku. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berselindung di sebalik beliau daripada hukuman kerana pembunuhan Khalifah Utsman.

Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh golongan Syiah pehanya sehingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadapannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sejadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan kerana Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.

Kebiadapan Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Jaafar As Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Jaafar As Shadiq iaitu Rabi’ menangkap Imam Jaafar As Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al-Mansur supaya dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Jaafar As Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al ‘ Uyun karangan Mulla Baqir Majlisi.

Di dalam kitab yang sama pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha iaitu Imam yang ke lapan di sisi Syiah, bahawa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah kental dengan perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan bahawa selepas dibunuh itu Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung kesan-kesan pedang di tubuhnya.

Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah hairan golongan yang sampai begini biadapnya terhadap Imam-imam boleh membunuh Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.

Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali dengan ‘syiah’ boleh bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka ? Secara ringkas bolehlah kita katakan bahawa ‘perasaan kehairanan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang kewujudan Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.

2. Di antara bukti yang menunjukkan tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiahlah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan persemendaan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas berlakunya peperangan Siffin dan juga selepas berlakunya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.

Tidak mungkin orang-orang yang bermaruah seperti kalangan Ahlul Bait akan berkahwin dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, datuk atau bapa saudara mereka Sayyidina Husain. Hubungan ini selain daripada menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.

Di antara contoh hubungan persemendaan ini ialah:

(1) Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah berkahwin dengan anak Marwan bin Al-Hakam yang bernama Muawiyah iaitu saudara kepada Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm-Jamharatu Al Ansab, m.s. 80)

(2) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali berkahwin dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri iaitu khalifah yang ke empat daripada kerajaan Bani Umaiyah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 m.s. 69)

(3) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali iaitu Khadijah berkahwin dengan anak gabenor ‘Amir bin Kuraiz dari Bani Umaiyah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, m.s. 68). ‘ Amir bin Kuraiz adalah gabenor bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.

Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang dua yang telah berkahwin dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umaiyah bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah berkahwin dengan mereka iaitu :-

1. Nafisah bt Zaid bin Hasan berkahwin dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.

2. Zainab bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah berkahwin dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.

3. Ummu Qasim bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman iaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan berkahwin pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.

4. Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah berkahwin dengan anak kepada Marwan bin Al-Hakam iaitu Muawiyah.

5. Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah bt Hasan Al Mutsanna berkahwin dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam iaitu Ismail bin Abdul Malik.

6. Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah bt Husain bin Hasan bin Ali juga pernah berkahwin dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.

Perlu diingat bahawa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan zuriat.

Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umaiyah, antaranya ialah :-

(1) Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Selepas beberapa lama terbunuh suaminya Mus’ab bin Zubair, beliau telah berkahwin dengan cucu Amirul Mukminin Marwan iaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak kepada Amirul Mukminin Yazid iaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al -Ansab)

(2) Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Uthman.

Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan persemendaan dengan keluarga Umaiyah. Di antaranya yang boleh disebutkan ialah :-

Cucu perempuan kepada saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah bt Ubaidillah bin Abbas bin Ali berkahwin dengan cucu Amirul

Saringan oleh www.darulkautsar.com dari artikel asal oleh Maulana Muhammad Asri Yusoff
Source: http://rafidimusyrik.blogspot.com