AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA

AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA
BAGAN BATU

Selasa, 26 Juni 2012

Abu Hanifah dan Kecerdasan Berlogika oleh Jauhar Ridloni Marzuq pada 15 Juni 2012 pukul 4:32 · Namanya panjangnya Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (80-150 H). Kaum Muslimin sering mengenal nama singkatnya dengan Abu Hanifah. Lahir di Kufah, Abu Hanifah adalah salah seorang ulama yang berguru kepada lebih dari seribu ulama pada masanya. Lima belas di antara seribu ulama itu adalah Sahabat Rasulullah SAW. Sebagai tokoh utama salah satu aliran fikih Islam (Madzhab Hanafi), Imam Abu Hanifah dikenal sebagai sosok brilian yang fasih berargumen dan bermain logika. Imam Malik, pendiri aliran fikih Madzhab Maliki pernah bercerita tentang Abu Hanifah. “Jika Abu Hanifah mengatakan bahwa tiang kayu ini adalah emas, niscaya kalian akan mempercayainya karena kekuatan argumen yang disampaikannya.” Sebegitu hebatkah Abu Hanifah? Untuk membuktikan sendiri, silakan Anda baca cerita ini. Cerita ini saya terjemahkan dari buku “Suwar min Hayat al-Tabi’in” (Potret Kehidupan Para Tabiin) yang dikarang oleh salah seorang ulama al-Azhar bernama Abdurrahman Ra’fat al-Basha (Dar al-Adab al-Islami: 2010). Suatu hari, al-Dzahhak al-Syari, salah seorang pengikut golongan Khawarij[1] datang kepada Abu Hanifah untuk memaksanya bertaubat. Alasannya, Abu Hanifah dianggap berdosa karena membenarkan upaya arbitrase yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib untuk menyelesaikan sengketa antara pengikutnya dengan pengikut Muawiyah. “Bertaubatlah kamu, Abu Hanifah!” Al-Dzahhak mengagetkan Abu Hanifah dengan perkataanya yang tanpa basa-basi. “Bertaubat dari apa?” tanya Abu Hanifah. “Kamu telah membenarkan arbitrase yang dilakukan oleh Ali dan Muawiyah.” “Owh, begitu. Hemm… Begini saja, bagaimana kalau kita dialog terlebih dahulu sebelum kamu menghakimiku seperti itu?” pinta Abu Hanifah. “Oke!” jawab al-Dzahhak. Abu Hanifah diam sejenak, kemudian kembali berbicara. “Tapi, kalau nanti kita berbeda pendapat saat berdialog, siapa yang akan menjadi hakimnya?” tanya Abu Hanifah kepada al-Dzahhak. “Terserah kamu. Silakan kamu tunjuk saja siapa yang ingin kamu jadikan hakim dalam dialog ini.” Abu Hanifah kemudian menunjuk salah seorang teman al-Dzahhak yang kebetulan ada di situ. “Silakan kamu jadi penengah di antara kita,” ucap Abu Hanifah kepada orang tersebut. Usai memilih seorang penengah, Abu Hanifah kemudian melajutkan pembicaraannya dengan al-Dzahhak. “Saya menerima dengan senang hati teman kamu menjadi penengah di antara kita. Apakah kamu juga menerima hal ini?” tanya Abu Hanifah. “Tentu saya menerima dengan lapang dada,” jawab al-Dzahhak. “Kalau begitu kamu kalah!” “Lho, kok bisa?” “Kamu menerima arbitrase dalam persengketaan antara aku dengan kamu. Lalu kenapa kamu menolak arbitrase antara Ali dengan Muawiyah?!” Al-Dzahhak pun tertunduk malu sembari terdiam seribu bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar