AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA

AHLUSSUNNAH WALJAMAAH KAUM TUA DI DUNIA
BAGAN BATU

Kamis, 30 Agustus 2012

Penyebab kesalahpahaman mereka



            Kesesatan atau kesalahpahaman mereka terjadi karena mereka termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga mereka memahami Al Qur'an , As Sunnah dan perkataan ulama-ulama terdahulu hanya berdasarkan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahami dengan metodologi "terjemahkan saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami ilmu agama bersandarkan kepada mutholaah (menelaah) kitab.
        
            Mereka kurang memperhatikan alat bahasa seperti nahwu, shorof, balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhatikan sifat lafadz-lafadz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.

        Contohnya mereka dalam memahami hadits "kullu bid'atin dholalah" tidak mempergunakan alat bahasa seperti nahwu , shorof, balaghoh sehingga mereka terjerumus dalam kesesatan atau kesalahpahaman tentang bid'ah seumur hidup mereka dan karena kesalahpahaman mereka menimbulkan perselisihan di kalangan kaum muslim sebagaimana keinginan kaum Zionis Yahudi Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

         Akibat buruk yang paling utama dari memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat adalah dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat sehingga dapat terjerumus kedalam kekufuran dalam i'tiqod sebagaimana keinginan kaum Zionis Yahudi Contoh kesalahpahaman para pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang dapat kita saksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15, i’tiqod mereka bahwa Allah ta’ala punya tangan dan mereka tambahkan bahwa tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk.

          Berikut transkriptnya, “Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah. Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak. Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, ndak sama. Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama bentuknya dan rupanya.”

             Contoh lainnya dapat kita ketahui dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ Kesimpulan atau i’tiqod mereka tertulis pada baris terakhir dalam tulisan mereka yakni “Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan“ Kerajaan dinasti Saudi dengan lembaga Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) berpendapat bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar telah sesat dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau telah terjatuh / tergelincir pada pen-ta’wilan terhadap sifat-sifat Allah swt.

           Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna dzahir. Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

          Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

           Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla. Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
             Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa - Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod) - Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala - I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

             Contoh kesalahpahaman lainnya yang diakibatkan karena memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat adalah dalam memahami hadits-hadits terkait kuburan dan masjid Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Amru an-Naqid keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Hilal bin Abi Humaid dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda dalam sakitnya yang menyebabkan beliau tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’ (HR Muslim 823) Hadits-hadits tersebut menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud. Jadi makna "jangan menjadikan kuburan menjadi masjid" adalah makna majaz artinya adalah “larangan menyembah kuburan” atau "larangan menyembah ahli kubur" dan hadits tersebut tidak terkait dengan pembangunan masjid.

                Begitupula hadits berikut Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman Al Qariy dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR Muslim 1300) Hadits ini tidak terkait dengan kuburan.
Kata kuburan adalah kata kiasan (majaz) yang maknanya sepi Jadi makna hadits ini adalah janganlah rumah itu sepi dari membaca Al Qur’an dan Sholat .
                Kaitannya dengan hadits yang lain seperti Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jadikanlah sebagian shalat kalian (dilakukan) di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikannya sebagai kuburan.” (HR Muslim 1296) Sekali lagi kedua hadits tersebut (HR Muslim 1300) dan (HR Muslim 1296) tidak terkait dengan kuburan atau makam

                 Begitupula kedua hadits tersebut bukanlah pelarangan pembacaan ayat suci Al Qur’an maupun sholat di kuburan. Kalau dipahami sebagai larangan membaca ayat suci Al Qur’an maupun sholat di kuburan maka secara tidak langsung telah menghardik atau melarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bukankah sholat jenazah ada membaca Al Qur'an yakni surat Al Fatihah

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيِّ

عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَاتَ إِنْسَانٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَمَاتَ بِاللَّيْلِ فَدَفَنُوهُ لَيْلًا فَلَمَّا


أَصْبَحَ أَخْبَرُوهُ فَقَالَ مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي قَالُوا كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَا وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan anda. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170)

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا

زَائِدَةُ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَامِرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرًا فَقَالُوا هَذَا دُفِنَ

أَوْ دُفِنَتْ الْبَارِحَةَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَصَفَّنَا خَلْفَهُ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا

             Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair telah menceritakan kepada kami Za’idah telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari ‘Amir dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mendatangi kuburan. Mereka berkata; Ini dikebumikan kemarin. Berkata, Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma: Maka Beliau membariskan kami di belakang Beliau kemudian mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1241) Umar ra mengetahui bahwa Anas ra sholat di atas kuburan sehingga beliau menginjak kuburan. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, Kuburan!)” maka Anas ra melangkah (menghindari menginjak dalam batas kuburan), lalu meneruskan shalatnya. [Lihat Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].

              Dikarenakan batas kuburan sudah tidak jelas sehingga terinjak oleh Anas ra ketika sholat dan beliau hanya melangkah menghindari menginjak dalam batas kuburan lalu meneruskan sholatnya. Batas kuburan yang merupakan batas yang tidak boleh diinjak, diduduki, dibangun, dikapuri adalah liang lahat tegak lurus ke atas dengan ditandai meninggikan tanah satu jengkal. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban) Dari Sufyan at Tamar, dia berkata, “Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3) Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”. Diluar batas kuburan atau di luar batas tanah yang ditinggikan satu jengkal, boleh diinjak, diduduki, dibangun untuk kepentingan peziarah (kecuali tanah wakaf) Jadi jelas sholat di dekat kuburan atau sholat yang arah kiblatnya kebetulan menghadap kuburan pun tidaklah membatalkan sholat.

            Namun sebaiknya kita hindari sholat (searah kiblatnya) menghadap kuburan untuk menghindari fitnah bagi yang melihatnya. Untuk itulah jika ada masjid dan di dalamnya ada shaf yang didepannya ada kuburan, sebaiknya shaf tersebut digunakan untuk tempat sholat ketika sholat berjama’ah pada saat tempat yang lain sudah penuh. Begitupula perkataan Imam As Syafi’i rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat” maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang melakukannya walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.

            Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah radiallahu anha, “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” (HR Muslim 823) maknanya Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang bersujud maupun orang yang lain yang melihatnya walaupun di hati yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Begitu pula penetapan hukum perkara sebagaimana yang dikatakan Imam As Syafi’i ra “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid” maknanya “makruh jika seseorang bersujud pada makam walaupun diniatkan sekedar penghormatan untuk menghindari fitnah dari orang yang melihatnya” Dalam kitab al-Muwatha’, Imam Malik ra menyebutkan sebuah riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenai tempat penguburan jasad Nabi Shallallahu alaihi wasallamm. Sebagian sahabat berkata, “Beliau kita kubur di sisi mimbar saja”. Para sahabat lainnya berkata, “dikubur di Baqi’ saja”. Lalu Sayyidinaa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a datang dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seorang nabi tidaklah dikubur kecuali di tempatnya meninggal dunia”. Lalu digalilah kuburan di tempat beliau meninggal dunia itu”. Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat di atas, tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mengingkari usulan itu. Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Sayyidinaa Abu Bakar r.a karena mengikuti perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar dikubur ditempat beliau meninggal dunia. Maka, beliau pun dikubur di kamar Sayyidah ‘Aisyah r.a yang melekat pada masjid yang digunakan sebagai tempat shalat oleh orang-orang muslim.

             Kondisi ini sama dengan kondisi kuburan-kuburan para wali dan orang-orang shaleh yang ada di dalam masjid-masjid pada zaman ini. Begitupula dengan dengan dikuburkannya Sayyidinaa Abu Bakar r.a dan Sayyidinaa Umar r.a di tempat yang sama dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu kamar Sayyidah ‘Aisyah r.a. yang masih dia gunakan untuk tinggal dan melakukan shalat-shalat fardhu dan sunnah. Dengan demikian, hukum kebolehan ini merupakan ijmak para Sahabat radhiyallahu’anhum. Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar